Rabu, 14 Februari 2018

Bahaya dari Sikap Mementingkan Sesama Golongan/Kelompok (Identitarianisme)

Berikut adalah kutipan dari berita mengenai sikap politik identitas :

Harus diakui bahwa Pilkada DKI Jakarta memang telah meninggalkan luka kebangsaan yang teramat parah. Dalam rentang waktu cukup lama, bahkan hingga kini, seluruh energi bangsa seolah tersedot untuk saling merebut sebuah “tafsir”  kebangsaan: siapa paling Pancasilais, paling nasionalis, paling mencintai NKRI. Masyarakat terbelah dalam polarisasi yang sangat tajam. Sayangnya, polarisasi itu dibangun berdasarkan sentimen SARA. Mirip dengan sejarah kemunculan aliran-aliran teologi dalam Islam, segalanya bermula dari kompetisi politik, kemudian menggunakan “stempel” agama dan tuhan untuk me (nde) legitimasi tindakan para pihak yang terlibat.
Bagai air bah, “hantu”  politik identitas itu tiba-tiba menyergap dan menerjang ruang-ruang kesadaran kita. Tetangga, teman dan rekan kerja kita tiba-tiba terlihat “berbeda” hanya karena agamanya atau karena afiliasi politiknya berbeda dari kita. Tiba-tiba ruang  kebangsaan kita diserang berbagai wacana pengkafiran, penyesatan, penistaan. Kita mendadak sensitif  pada segala hal yang berbeda dari kita: agama, suku, kelompok, warna kulit  atau  orientasi seks seperti waria.
Yang harus kita lakukan adalah berhenti mempermasalahkan hal-hal yang sepele seperti perbedaan pandangan, suku, agama, dan etnis yang menyebabkan munculnya kelompok identitas, meskipun kita bertemu dengan orang yang berbeda dari kita, tetapi mereka tidak melakukan kejahatan, maka tidak perlu takut dan memusuhi mereka, malahan kita harus berteman dengan mereka agar saling mengenal sehingga bisa menerima perbedaan dan akan membentuk kebiasaan baru yang bisa membuat masyarakat beragam hidup nyaman, akhirnya kerusuhan dalam masyarakat bisa diatasi 
Tentu tidak ada yang salah dengan politik  identitas. Secara naluriah, setiap orang pasti berpikir dan bertindak atas preferensi tertentu. Wajar jika ia punya kepentingan atau  memperjuangkan kepentingan yang “menguntungkan” diri atau kelompoknya. Politik identitas bermasalah kala mulai “mengganggu” identitas kelompok lain, terutama kaum minoritas atau mereka yang terabaikan.
Orang-orang yang berpaham politik identitas selalu berpikir dan bekerja untuk keuntungan dan kebaikan bagi kelompok mereka saja, bahkan tetap dilakukan meskipun merugikan kelompok lainnya, maka kelompok-kelompok yang berpaham identitas harus dihapuskan secara total oleh pemerintahan, dan tentunya memerlukan tindakan tegas dari pemimpin negara tanpa menunggu melakukan voting/pengamatan suara rakyat (otokratis)
Konsepsi  negara modern dan demokrasi justeru hadir untuk mengelola dan menampung segala keragaman itu agar dapat ditransformasi dan dikonversi menjadi sumber kekuatan, bukan sumber kelemahan
Demokrasi adalah tempat berkembangnya kelompok identitas, karena dalam demokrasi setiap orang bebas berkumpul dan mengemukakan pendapat berdasarkan Hak Asasi Manusia, meskipun mereka membuat kelompok yang bertujuan untuk hal-hal yang dapat memecah belah masyarakat, mereka tetap dibiarkan, karena itu adalah "hak" mereka.
Jika negara yang masyarakatnya beragam dipimpin secara demokratis, maka masalah kerusuhan antar kelompok pasti ada, karena dalam paham demokrasi, setiap keputusan negara ditentukan dari suara terbanyak rakyat, dan biasanya yang mendapatkan suara terbanyak adalah rakyat yang berasal dari etnis/agama mayoritas, bahkan kebijakan akan dibuat meskipun merugikan masyarakat yang berasal dari etnis/agama minoritas, dan didalam demokrasi setiap orang bebas berpendapat meskipun menyakiti, menghina orang lain, bahkan bisa membuat konflik/kerusuhan orang banyak, itulah kelemahan besar dari pemerintahan demokrasi
Kini  kita tumbuh menjadi bangsa pemarah, pembenci, pendendam dan egois. Jika pada masa Orde Baru  sentimen identitas itu tumbuh nyaris “tanpa dosis” (karena ditumpas habis-habisan) maka kini  justeru  “over dosis” sehingga membahayakan “keselamatan”  jiwa dan raga bangsa ini. 
Setidaknya kita mulai sadar, bahwa pemerintahan yang setiap kebijakan dibuat berdasarkan persetujuan dan pemikiran dari pemimpin negara yang lebih mengerti cara untuk menangani masalah negara baik dari dalam ataupun luar, bukan berasal dari kemauan rakyat mayoritas/demokrasi, dapat menertibkan masyarakat dengan baik
Dan dalam pemerintahan otokratis, calon pemimpin negara/provinsi/kota/desa dipilih oleh pemimpin sebelumnya berdasarkan diskusi dengan para pembantunya yang lebih mengerti masalah masyarakat dan ciri-ciri pemimpin yang bisa bekerja dengan benar

Sumber : https://www.qureta.com/post/hantu-politik-identitas-2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar