Sabtu, 10 November 2018

Mengenang Perjuangan Rakyat (Agresi Militer Belanda 2)

Setelah pemerintah baru rakyat menyatakan kemerdekaan kepada dunia tanggal 17 Agustus 1945, Belanda, si penjajah itu, ingin merebut wilayah kemerdekaan kita lagi dengan menyerang daerah kita dengan pasukan bersenjata-nya yang canggih diberikan dari Amerika Serikat dan Inggris, lewat sebuah Operasi yaitu Agresi Militer Belanda 1 (21 Juli - 5 Agustus, 1947) dan Agresi Militer Belanda 2 (19–20 Desember 1948)

Sekarang kita akan mengetahui bagaimana terjadinya Agresi Militer Belanda 2 :

Kita memiliki 100.000 tentara, mereka hanya memiliki 900 pasukan penerjun payung dan 10.000 tentara, tetapi kita mengalami korban yang besar yaitu 62.000, sedangkan mereka hanya 3.000 saja, kalau tentara kita hanya menggunakan senapan biasa, mereka sudah memiliki senapan mitraliur, yang bisa mengeluarkan satu rentetan peluru dalam 1 menit, dan mereka juga menggunakan kekuatan udara berupa pesawat tempur P-40 Kittyhawk sebanyak 9 buah dan P-51 Mustang sebanyak 5 buah, yang menembaki dan membom pasukan tentara kita dari udara, banyak bagian wilayah Yogyakarta dan Sumatra berhasil dikuasai, pemimpin yang memerdekakan dan membuat pemerintahan bebas bagi rakyat, yaitu Sukarno, Mohammad Hatta, dan Sutan Syahrir, dan mereka diasingkan oleh tentara pendudukan Belanda ke daerah di Sumatra, disana mereka membuat pemerintahan darurat untuk tetap memimpin rakyat Nusantara.

Tetapi Jendral Sudirman, orang yang membuat strategi Perang Gerilya pertama kali, tetap tidak menyerah dan bersama pasukan rakyat dan tentara yang tersisa terus berperang melawan tentara Belanda dengan menyerang letak pertahanan mereka dari belakang hingga akhir tahun 1949 bisa mengalahkan dan mengusir pasukan Belanda dari Jawa

Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Agresi_Militer_Belanda_II

Berikut adalah video dokumenter Agresi Militer Belanda 2

https://www.youtube.com/watch?v=NunMgx3Bh7Q

Senin, 22 Oktober 2018

Mengenang Perjuangan Rakyat (Agresi Militer Belanda 1)

Dari Wikipedia :

"Operatie Product" (bahasa Indonesia: Operasi Produk) atau yang dikenal di Indonesia dengan nama Agresi Militer Belanda I adalah operasi militer Belanda di Jawa dan Sumatera terhadap Republik Indonesia yang dilaksanakan dari 21 Juli 1947 sampai 5 Agustus 1947. Operasi Produk merupakan istilah yang dibuat oleh Letnan Gubernur Jenderal Johannes van Mook yang menegaskan bahwa hasil Perundingan Linggarjati pada tanggal 25 Maret 1947 tidak berlaku lagi.[1] Operasi militer ini merupakan bagian dari Aksi Polisionil yang diberlakukan Belanda dalam rangka mempertahankan penafsiran Belanda atas Perundingan Linggarjati. Dari sudut pandang Republik Indonesia, operasi ini dianggap merupakan pelanggaran dari hasil Perundingan Linggarjati.

Itu terjadi setelah negara kita merdeka tanggal 17 Agustus 1945, para penjajah itu tetap mau berusaha untuk menguasai kita kembali

Kita memiliki 500.000 tentara dengan senjata api/senapan seadanya,kebanyakan rampasan dari tentara Jepang, dan tentara Belanda berjumlah 200.000 memiliki senjata api/senapan yang canggih/modern, tank, dan pesawat tempur 


Kita mengalami kekalahan dengan 150.000 orang tewas, sedang mereka hanya 6.200 orang saja!

Maka darisitu untuk menyelamatkan negara kita, pemerintah mengirimkan perwakilan orang ke PBB untuk menyelesaikan perang tersebut, butuh waktu beberapa lama untuk itu, 

Pada 17 Agustus 1947 Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Belanda menerima Resolusi Dewan Keamanan untuk melakukan gencatan senjata, dan pada 25 Agustus 1947 Dewan Keamanan membentuk suatu komite yang akan menjadi penengah konflik antara Indonesia dan Belanda. Komite ini awalnya hanyalah sebagai Committee of Good Offices for Indonesia (Komite Jasa Baik Untuk Indonesia), dan lebih dikenal sebagai Komisi Tiga Negara (KTN), karena beranggotakan tiga negara, yaitu Australia yang dipilih oleh Indonesia, Belgia yang dipilih oleh Belanda dan Amerika Serikat sebagai pihak yang netral. Australia diwakili oleh Richard C. Kirby, Belgia diwakili oleh Paul van Zeeland dan Amerika Serikat menunjuk Dr. Frank Graham.

Berikut adalah cuplikan film/rekaman dari peperangan tersebut :


https://www.youtube.com/watch?v=Ae8Fn6ecEr4

Semoga peristiwa ini mengingatkan kita untuk terus memberikan yang terbaik bagi Nusantara dengan bekerja keras dan cerdas agar negara kita tetap bertahan dari ancaman dan serangan kekuatan asing dan barat


Selasa, 27 Februari 2018

Pemimpin Wanita ini Berhasil Menyatukan Masyarakat Beragam

Sitt Al-Mulk (Dinasti Fatimiyah (909-1171), pemimpin perempuan Mesir yang bisa menyatukan masyarakat beragam :

https://www.qureta.com/post/mengenal-sitt-al-mulk-dinasti-fatimiyah


Sikap toleran, dermawan dan pemberani adalah karakteristik pribadi Sitt al-Mulk. Keberhasilannya dalam menjaga stabilitas negara tidak lain karena sikap toleransi antarumat beragama karena potret Mesir pada saat itu sangat beragam.
Sikap toleransi Sitt al-Mulk tercermin dari sikap hormat terhadap Kristen dan Yahudi. Bahkan, ia berhasil menyelesaikan perseteruan pamannya Arsenius dan Aristes dan memberikan mereka jabatan tinggi dalam kerajaan. Sikap dermawan dan pemberani Sitt al-Mulk sama dengan sifat sang ayah yang membawa kekaisaran Fatimiyah makin maju.
Rasa hormat Sitt al-Mulk kepada komunitas Yahudi dan Kristen tidak lain karena dua hal. Pertama, ibu Sitt al-Mulk berasal dari Kristen Jarya asal Byzantium yang secara tidak langsung mempengaruhi praktik politik pemerintahannya.
Kedua, nilai toleransi dan kedermawanan modal utama, tidak hanya bagi Yahudi dan Kristen, tapi aliran lain. Ia merangkul semua elemen masyarakat dengan cara membangun lembaga pendidikan dan melibatkan mereka dalam struktur pemerintahan.
...
Kesimpulan :

Pemerintahan dimana rakyat dipimpin secara otokratis, bukan demokratis, dapat menertibkan masyarakat yang beragam, karena kebijakan negara tidak selalu ditentukan rakyat dari latar belakang etnis/agama/paham/aliran mayoritas, pemimpin bisa membuat kebijakan dari apa yang dia pikir, yang menyesuaikan antara rakyat mayoritas dan minoritas

Demokrasi tidak akan pernah bisa digunakan dalam negara masyarakat beragam, hanya untuk negara yang rakyatnya berlatar belakang sama seperti Israel contohnya


Rabu, 14 Februari 2018

Bahaya dari Sikap Mementingkan Sesama Golongan/Kelompok (Identitarianisme)

Berikut adalah kutipan dari berita mengenai sikap politik identitas :

Harus diakui bahwa Pilkada DKI Jakarta memang telah meninggalkan luka kebangsaan yang teramat parah. Dalam rentang waktu cukup lama, bahkan hingga kini, seluruh energi bangsa seolah tersedot untuk saling merebut sebuah “tafsir”  kebangsaan: siapa paling Pancasilais, paling nasionalis, paling mencintai NKRI. Masyarakat terbelah dalam polarisasi yang sangat tajam. Sayangnya, polarisasi itu dibangun berdasarkan sentimen SARA. Mirip dengan sejarah kemunculan aliran-aliran teologi dalam Islam, segalanya bermula dari kompetisi politik, kemudian menggunakan “stempel” agama dan tuhan untuk me (nde) legitimasi tindakan para pihak yang terlibat.
Bagai air bah, “hantu”  politik identitas itu tiba-tiba menyergap dan menerjang ruang-ruang kesadaran kita. Tetangga, teman dan rekan kerja kita tiba-tiba terlihat “berbeda” hanya karena agamanya atau karena afiliasi politiknya berbeda dari kita. Tiba-tiba ruang  kebangsaan kita diserang berbagai wacana pengkafiran, penyesatan, penistaan. Kita mendadak sensitif  pada segala hal yang berbeda dari kita: agama, suku, kelompok, warna kulit  atau  orientasi seks seperti waria.
Yang harus kita lakukan adalah berhenti mempermasalahkan hal-hal yang sepele seperti perbedaan pandangan, suku, agama, dan etnis yang menyebabkan munculnya kelompok identitas, meskipun kita bertemu dengan orang yang berbeda dari kita, tetapi mereka tidak melakukan kejahatan, maka tidak perlu takut dan memusuhi mereka, malahan kita harus berteman dengan mereka agar saling mengenal sehingga bisa menerima perbedaan dan akan membentuk kebiasaan baru yang bisa membuat masyarakat beragam hidup nyaman, akhirnya kerusuhan dalam masyarakat bisa diatasi 
Tentu tidak ada yang salah dengan politik  identitas. Secara naluriah, setiap orang pasti berpikir dan bertindak atas preferensi tertentu. Wajar jika ia punya kepentingan atau  memperjuangkan kepentingan yang “menguntungkan” diri atau kelompoknya. Politik identitas bermasalah kala mulai “mengganggu” identitas kelompok lain, terutama kaum minoritas atau mereka yang terabaikan.
Orang-orang yang berpaham politik identitas selalu berpikir dan bekerja untuk keuntungan dan kebaikan bagi kelompok mereka saja, bahkan tetap dilakukan meskipun merugikan kelompok lainnya, maka kelompok-kelompok yang berpaham identitas harus dihapuskan secara total oleh pemerintahan, dan tentunya memerlukan tindakan tegas dari pemimpin negara tanpa menunggu melakukan voting/pengamatan suara rakyat (otokratis)
Konsepsi  negara modern dan demokrasi justeru hadir untuk mengelola dan menampung segala keragaman itu agar dapat ditransformasi dan dikonversi menjadi sumber kekuatan, bukan sumber kelemahan
Demokrasi adalah tempat berkembangnya kelompok identitas, karena dalam demokrasi setiap orang bebas berkumpul dan mengemukakan pendapat berdasarkan Hak Asasi Manusia, meskipun mereka membuat kelompok yang bertujuan untuk hal-hal yang dapat memecah belah masyarakat, mereka tetap dibiarkan, karena itu adalah "hak" mereka.
Jika negara yang masyarakatnya beragam dipimpin secara demokratis, maka masalah kerusuhan antar kelompok pasti ada, karena dalam paham demokrasi, setiap keputusan negara ditentukan dari suara terbanyak rakyat, dan biasanya yang mendapatkan suara terbanyak adalah rakyat yang berasal dari etnis/agama mayoritas, bahkan kebijakan akan dibuat meskipun merugikan masyarakat yang berasal dari etnis/agama minoritas, dan didalam demokrasi setiap orang bebas berpendapat meskipun menyakiti, menghina orang lain, bahkan bisa membuat konflik/kerusuhan orang banyak, itulah kelemahan besar dari pemerintahan demokrasi
Kini  kita tumbuh menjadi bangsa pemarah, pembenci, pendendam dan egois. Jika pada masa Orde Baru  sentimen identitas itu tumbuh nyaris “tanpa dosis” (karena ditumpas habis-habisan) maka kini  justeru  “over dosis” sehingga membahayakan “keselamatan”  jiwa dan raga bangsa ini. 
Setidaknya kita mulai sadar, bahwa pemerintahan yang setiap kebijakan dibuat berdasarkan persetujuan dan pemikiran dari pemimpin negara yang lebih mengerti cara untuk menangani masalah negara baik dari dalam ataupun luar, bukan berasal dari kemauan rakyat mayoritas/demokrasi, dapat menertibkan masyarakat dengan baik
Dan dalam pemerintahan otokratis, calon pemimpin negara/provinsi/kota/desa dipilih oleh pemimpin sebelumnya berdasarkan diskusi dengan para pembantunya yang lebih mengerti masalah masyarakat dan ciri-ciri pemimpin yang bisa bekerja dengan benar

Sumber : https://www.qureta.com/post/hantu-politik-identitas-2

Minggu, 21 Januari 2018

Hilangkan Kebencian Terhadap "Orang Cina"

Masalah dalam kehidupan masyarakat yang kita alami sekarang, yang sudah lama bertahun-tahun adalah kebencian antara "penduduk asli" dan orang-orang "Cina", sebenarnya yang perlu kita tahu adalah, mereka yang kita sebut "orang Cina" itu sudah sah menjadi warga negara Indonesia, dan mereka bekerja/membuka bisnis/usaha disini, sehingga keahlian mereka juga berguna bagi negara ini, dan kebanyakan dari kita juga bekerja di perusahaan yang pemilik usaha tersebut berasal dari etnis "Cina".

Berikut adalah contoh orang Cina yang bekerja demi kita :


1. Laksamana Muda John Lie
Beliau adalah orang keturunan Cina yang bergabung bersama Kesatuan Rakyat Indonesia Sulawesi dan akhirnya menjadi kapten di Angkatan Laut, beliau berjasa menjaga barang-barang yang ditukar dengan senjata dari Singapura untuk melawan Belanda

2. Djiaw Kie Song

Beliau adalah orang yang membolehkan rumahnya ditumpangi Soekarno dan Hatta, yang ketika itu diculik para pemuda pada peristiwa Rengasdengklok pada 16 Agustus 1945

3. Abdurrahman Wahid

Mungkin tak banyak yang tahu, namun Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur pernah menyatakan bahwa ia mempunyai darah Tionghoa mengalir dalam nadinya. Dengan terbuka ia mengakui bahwa ia masih memiliki garis keturunan dari Tan Kim Han yang menikahi Tan A Lok yang merupakansaudara Raden Patah (Tan Eng Hwa) yang mendirikan Kesultanan Demak. Menurut riset yang dilakukan seorang peneliti berkebangsaan Prancis, Louis Charles Damais, Tan Kim Han dikenal sebagaiSyekh Abdul Qodir Al-Shini yang dimakamkan di situs sejarah Trowulan.

4. Lauw Chuan Tho

Bersama beberapa tokoh keturunan Tionghoa lain seperti sejarawan Ong Hok Ham dan pendiri harian Kompas, P.K. Ojong, Lauw Chuan Tho turut terlibat dalam pencetusan Piagam Asimilasi yang menganjurkan agar warga keturunan Tionghoa sepenuhnya berasimilasi dengan masyarakat Indonsia. Lauw Chuan Tho memeluk Islam pada 1979 dan mulai dikenal sebagai Junus Jahja. Ia menjadi penyokong berdirinya Masjid Lautze di Jakarta serta Yayasan Haji Karim Oei. Junus Jahja yang pernah dilantik menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung pernah dianugerahi gelar Bintang Mahaputra.


5. Lim Wasim dan Lee Man Fong

Keduanya adalah pelukis istana di masa kepresidenan Sukarno, bersama Dullah. Lim Wasim lahir di Bandung 9 Mei 1929 dan lulusan Institut Seni Rupa Beijing. Setelah menempuh enam tahun masa studi, ia mengajar di Perguruan Tinggi Xian, di Kota Xian,Cina. Sempat terisolasi karena dituduh mata-mata Indonesia oleh pemerintah komunis Cina. Seusai tugas, ia kembali ke Bandung.

Sementara Lee Man Fong lahir di Tiongkok dan menempuh pendidikan seni di Singapura. Belajar dengan pelukis Lingnan dan mempelajari teknik melukis dengan cat minyak. Tahun 1933, ia pindah ke Indonesia. Sempat menjadi tawanan Jepang di Perang Dunia II dan setelah itu ia menjadi pelukis istana Presiden Sukarno.

Wasim berkenalan dengan Man Fong sepindahnya dari Bandung ke Jakarta. Di Bandung Wasim bergabung dalam kelompok Tjipta Pancaran Rasa bersama pelukis Barli, Angkama dan lain-lain.

Tahun 1965, Wasim sempat menyusun buku Lukisan-lukisan Koleksi Bung Karno dari jlid 6 sampai 10 yang rencananya diterbitkan pada ulang tahun Bung Karno ke-65. Tetapi tragedi G-30S PKI membuyarkan rencananya dan rencana ini dibawanya hingga akhir hayat. Wasim masih berada di istana semasa pemerintahan Presiden Suharto dan keluar istana tahun 1968. Sempat mengalami trauma karena takut dianggap ?Sukarnois? ia menyamar menjadi pengusaha roti, tetapi melukis tidak bisa lepas dari hidupnya.

Lee Man Fong sendiri mengasingkan diri ke Singapura setelah kudeta tersebut tahun 1966, dan tetap berkarya. Kumpulan lukisannya diterbitkan dalam buku Lee Man Fong: Oil Paintings, volume I dan II, diterbitkan oleh musium Art Retreat. Lukisan-lukisan Man Fong banyak dikoleksi kolektor lukisan seluruh dunia.

Wasim sendiri justru banyak mengadakan pameran di luar negeri dan memperoleh banyak penghargaan internasional diantaranya dari International Biographical Center,Cambridge, Inggris (1975), Academia Italia delle Arti e del Savoro (1981) dan sejumlah penghargaan lainnya. Nama

Wasim termasuk dalam kamus seni terbitan Inggris dan Amerika. Di negeri sendiri, Wasim cenderung kurang dihargai dan Wasim lebih memilih menjadi orang yang terus berkarya tanpa perlu diekspos.

Man Fong menghembuskan nafas terakhir tahun 1988 di Puncak akibat sakit, sementara Wasim meninggal dunia di Jakarta 28 Agustus 2004 akibat pendarahan otak. Rekannya sesama pelukis istana, Dullah, sudah berpulang tahun 1996.

6. Laksamana Muda Cheng Ho

Beliau adalah seorang pelayar besar Cina beragama Islam yang menyebarkan Islam dan mengenalkan budaya Cina untuk bergabung dengan budaya orang asli di negara kita di tahun 1400-an

Sumber : https://www.facebook.com/notes/ken-gooeslaard/10-tokoh-keturunan-tionghoa-paling-berpengaruh-bagi-indonesia/10154313667580096/

https://www.zetizen.com/show/9238/ini-kisah-cheng-ho-laksamana-muslim-tiongkok-yang-berjasa-di-indonesia

Dan masih banyak lagi orang-orang Cina yang berjasa bagi negara kita, dan tentunya kita tidak lupa jika perusahaan besar seperti Indofood, Alfamart, Indomaret, dll yang memajukan perekonomian negara dan memudahkan kita untuk mendapatkan barang kebutuhan sehari-hari pemiliknya adalah orang-orang Cina yang sudah menjadi warga negara Indonesia

Jadi, kesimpulannya adalah orang etnis apapun yang telah tinggal disini dan sah menjadi warga negara Indonesia, mereka tetap harus kita anggap sebagai orang Indonesia, hilangkan istilah seperti "Indonesia keturunan Cina", "Indonesia Bule", "Indonesia Negro", dll, dan kita tidak bisa jika ada beberapa orang dari sebuah etnis melakukan kejelekan, lalu kita langsung menganggap bahwa orang-orang dari etnis tersebut jelek semua, kita harus melihat baik atau buruk seseorang dari sikapnya secara pribadi/individu, bukan dari latar belakang etnis/agamanya, hal tersebut dapat menyebabkan perpecahan dalam bermasyarakat